Rabu, 12 Desember 2012

Kesehatan reproduksi Penting Bagi Kalangan Remaja






Masa remaja, masa transisi antara kanak-kanak dengan dewasa dan relatif belum mencapai tahap kematangan mental dan sosial sehingga mereka harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial yang bertentangan. Banyak sekali life events yang akan terja di yang tidak saja akan menentukan kehidupan masa dewasa tetapi juga kualitas hidup generasi berikutnya sehingga menenpatkan masa ini sebagai masa kritis.
Di negara-negara berkembang masa transisi ini berlangsung sangat cepat. Bahkan usia saat hubungan seks pertama ternyata selalu lebih muda dari usia ideal menikah. Ini dikarenakan, pengaruh informasi global (paparan media audio-visual) yang semakin mudah diakses justru memancing anak dan remaja untuk mengadaptasi kebiasaan-kebiasaan tersebut tidak sehat seperti merokok, minum-minuman berakohol, penyalahgunaan obat narkotik, perkelahian antar-remaja atau tawuran. Yang pada akhirnya, secara kumulatif kebiasaan-kebiasaan tersebut akan mempercepat usia awal seksual aktif serta mengantarkan mereka pada kebiasaan perilaku seksual yang beresiko tinggi, karena kebanyakan remaja tidak memiliki pengetahuan yang akurat mengenai kesehatan reproduksi, termasuk kontrasepsi.
Kadangkala pencetus perilaku atau kebiasaan tidak sehat pada remaja justru sering diakibatkan ketidak harmonisan hubungan ayah-ibu, sikap orangtua yang menabukan pertanyaan anak/remaja tentang fungsi/proses reproduksi dan penyebab rangsangan seksualitas (libido), serta frekuensi tindak kekerasan anak, menyebabkan mereka jadi lepas kendali. Mereka cenderung merasa risih dan tidak mampu untuk memberikan informasi yang memadai mengenai alat reproduksi dan proses reproduksi tersebut. Karenanya, mudah timbul rasa takut di kalangan orangtua dan guru, bahwa pendidikan yang menyentuh isu perkembangan organ reproduksi dan fungsinya justru malah mendorong remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah.
Sebagai langakah awal pencegahan, peningkatan pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi harus ditunjang dengan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang tegas tentang penyebab konsekuensi perilaku seksual, apa yang harus dilakukan dan dilengkapi dengan informasi mengenai sasaran pelayanan yang bersedia menolong seandainya telah terjadi kehamilan yang tidak diinginkan atau tertular ISR/PMS. Hingga saat ini, informasi tentang kesehatan reproduksi disebarluaskan dengan pesan-pesan yang samar dan tidak fokus, terutama bila mengarah pada perilaku seksual.
Sebagai langkah awal pencegahan, peningkatan pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi harus ditunjang dengan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang tegas tentang penyebab dan konsekuensi perilaku seksual, apa yang harus dilakukan dan dilengkapi dengan informasi mengenai sasaran pelayanan yang bersedia menolong seandainya telah terjadi kehamilan yang tidak diinginkan atau tertular ISR/PMS.
Di segi pelayanan kesehatan, pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana di Indonesia hanya dirancang untuk perempuan yang telah menikah, tidak unutk remaja. Petugas kesehatan pun belum dibekali dengan keterampilan untuk melayani kebutuhan kesehatan reproduksi para remaja. Jumlah fasilitas kesehatan reproduksi yang menyeluruh untuk remaja sangat terbatas. Kalaupun ada, pemanfaatannya relative terbatas pada remaja dengan masalah kehamilan atau persalinan tidak direncanakan. Keprihatinan akan jaminan kerahasiaan (privacy) atau kemampuan membayar, dan kenyataan atau persepsi remaja terhadap sikap tidak senang yang ditunjukkan oleh pihak petugas kesehatan,  semakin membatasi akses pelayanan lebih jauh, meski pelayanan itu ada. Di samping itu, terdapat pula hembatan legal yang berkaitan dengan pemberian pelayanan dan informasi kepada kelompok remaja.
Bahkan sebuah survey terbaru, banyakan remaja laki-laki dan remaja putrid usia 15-24 tahun, masih menganggap perempuan tidak akan hamil hanya dengan sekali melakukan hubungan seks. Kesalahan persepsi ini sebagian besar diyakini oleh remaja laki-laki (49,7%) dibandingkan pada remaja putri (42,3%).
Dari survey yang sama juga didapatkan hanya 19,2% remaja yang menyadari peningkatan resiko untuk tertular PMS bila memiliki pasangan seksual lebih dari satu dan 51% mengira bahwa mereka akan beresiko tertular HIV hanya bila berhubungan seks dengan pekerja seks komersial (PSK).
Saat ini, Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Sumatera Utara (BKKBN-Sumut) telah mendirikan PPKS (Pusat Pelayanan Keluarga Sejahtera), dan sangat diharapkan kepada remaja yang memiliki problema seperti diatas datang untuk mendapatkan pelayanan. (Rizal Harahap)

Sumber  :  “MedanPos - Jum’at  07 desember  2012”

Tidak ada komentar: